Sengatan matahari tak membuat mereka mengeluh, padahal saat itu mereka tengah berada di sebuah lapangan terbuka yang agak luas dan tandus. Pandangan mereka tajam ke depan, namun sikap mereka tetap terlihat tenang. Badan mereka tegap, berdiri dengan kokoh di atas kaki-kaki yang pendek tapi cukup kuat untuk sekedar menopang tubuh besar itu. Tak ada tanda-tanda sedikitpun yang menunjukkan bahwa mereka ketakutan. Padahal, detik-detik menuju akhir hayat mereka sudah sangat dekat.
Beberapa saat kemudian terlihat banyak orang berdatangan berkumpul di lapangan tersebut. Seseorang tampak menenteng sebuah senjata tajam yang berkilauan, sepertinya baru diasah. Ia lah sang eksekutor. Para ‘terpidana mati’ sekarang agak gelisah karena merasa terganggu dikerubungi banyak orang. Memang, eksekusi mati kali ini agak spesial karena diperbolehkan bagi masyarakat umum untuk menyaksikannya secara langsung. Dan sebentar lagi, tibalah saat menegangkan itu. Salah seorang ‘terpidana’ hanya bisa bersuara pilu..
“Muoooooo…..”
“Woiii, lebay banget sih lo, itukan cuma penyembelihan hewan kurban biasa, di kampung gue juga ada kok!”
“Heh, biarin. Ini kan wujud penghargaan gue terhadap sapi-sapi yang rela berkorban nyawa demi kita, demi umat Islam men! Jadi yaa gue nulis ini dengan rasa hormat juga. Dasar loe aja yang nggak berperikebinatangan!”
(Padahal sambil ngomong gitu gue dengan lahapnya menyantap daging sapi yang udah dijadikan sate)
***
Huff, sekarang gue udah kenyang nih, jadi gue lanjutin aja ceritanya yak! Emang proses penyembelihan hewan kurban udah jadi hal yang biasa dilakukan di mana pun, berhubung di Negara kita penduduk mayoritasnya kan muslim. Tapi juga karena udah biasa itu lah kita jadi males buat ngambil hikmah dari proses penyembelihan tersebut. Paling-paling cuma ada komentar : “Ih, kasian sapinya ya” atau “Wah, darahnya muncrat ngeri coy” atau “Gile, udah dipotong kepalanya masih aja tuh sapi jingkrak-jingkrak.”
Oleh karena sebab di atas, maka dari itu sesungguhnya walaupun demikian dan meskipun adanya… “Banyak bacot, lo! Benang merah, benang merah!” Eits, sabar Pak Dalang, ampun deh kita kembali ke benang merah. Kata ustadz gue di pengajian dulu sih, hikmah dari ibadah kurban ini sebenernya adalah untuk mengingatkan kembali peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dulu. Waktu itu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengorbankan putera beliau yang sangat beliau sayangi, yaitu Nabi Ismail. Hmm, kalo kita pasti menganggap itu tugas yang teramat berat. Bayangin aja, sebelumnya Nabi Ibrahim belum punya anak dalam waktu yang cukup lama, dan saat ia udah dikaruniai seorang anak, nggak berapa lama anak satu-satunya itu malah diminta buat dijadikan kurban. Namun hebatnya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sanggup menerima perintah dari Sang Khalik tersebut dengan tulus hati.
Eits, cukup di sini ceritanya, kalian juga pasti udah tau gimana ending dari peristiwa ini kan? Yang penting adalah sikap rela berkorban yang amat besar yang dilakukan Nabi Ibrahim untuk melaksanakan segala perintah dari Allah SWT, itulah yang harus kita contoh. Pokoknya sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat.
Tapi bagaimana dengan umat Islam saat ini? Sayang sekali, nggak sedikit dari umat Islam dengan sombongnya mencampakkan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan untuk diterapkan dalam kehidupan. Banyak yang mengambil sebagian aja dari ajaran Islam yang menurut mereka gampang dilaksanakan atau menguntungkan, sedangkan yang dianggap susah bin ribet, ya dibuang seenaknya, maksudnya nggak dilaksanakan gitu. Hooi, apa kalian nggak mau tanggung jawab? Jangan pura-pura lupa deh, kan dulu pernah ngucap sumpah bahwa ‘Laa ilahailallah, Muhammadarrasulullah’? Itukan pernyataan yang keluar dari mulut sendiri, kalo tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah. Artinya segala yang diperintahkan oleh Tuhan baik melalui Qur’an maupun assunah melalui utusan-Nya musti diyakini kebenarannya dan wajib dilaksanakan kan?
Makanya Abu Jahal mati-matian nggak mau ngucapin syahadat, karena paham konsekuensi yang musti ditanggung setelah ngucapin syahadat yaitu meninggalkan berhala yang selama ini begitu dipujanya dan menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Sekarang, berkali-kali ngucapin syahadat juga nggak masalah kok. Tapi mana jilbab yang seharusnya wajib dikenakan itu? Apa karena panas dan ribet, jadi dengan seenaknya nggak dipakai? Lalu pacaran masih tetap jalan? Apa karena alasan cinta, maka cinta kepada-Nya lah yang jadi dikorbankan? Gimana juga dengan mereka yang ngakunya pejabat, dikemanakan aturan Islam yang sempurna itu? Lupa narohnya dimana ya, karena saking sibuknya memperkaya diri sendiri?
Begitulah, boro-boro berkorban nyawa jihad fi sabilillah, untuk berkorban sedikit ’ribet’ menggunakan jilbab atau meninggalkan pacar aja udah ngerasa segitu beratnya. Apa nggak malu tuh, sama sapi hewan kurban yang dengan nyantai digorok lehernya buat dikorbanin, agar dagingnya bisa disantap oleh para fakir miskin. Bukankah pengorbanan mereka amat besar?
Pren, mungkin kita masih dengan santainya menyaksikan penyembelihan hewan kurban, memotong-motong dagingnya, lalu membakarnya di pemanggangan. Sementara di belahan dunia lain, jangankan berkurban hewan ternak, tapi merekalah yang mengorbankan diri untuk dihabisi oleh biadab zionis laknatullah’alaih, tubuh mereka sendirilah yang terpotong-potong dan terpanggang oleh bom fosfor putih. Dan sekarang, apa yang bisa kita lakukan?
Mengutip orasi yang pernah disampaikan sahabat, sebenernya jauh lebih mulia hidup di daerah konflik kayak di Palestin dibanding tinggal di daerah yang adem ayem seperti di sini. Di Palestin misalnya, seseorang yang keluar rumah akan berhadapan langsung dengan kebuasan tentara Israel, jika ia mati saat melawan, maka ia mati syahid. Sedangkan jika kita keluar rumah ke jalan raya, yang kita lihat adalah pemandangan yang begitu menghinakan seorang Muslim, seperti banyaknya orang yang enggan menutup auratnya. Kalo kita mati ketabrak gara-gara asyik melototin itu, gimana? Na’udzubillah..!
Yah, maunya sih suatu saat nanti bakal dikirimkan pasukan untuk membebaskan umat Islam yang sedang digempur itu, dan bakal diadakan semacam pelatihan militer yang diwajibkan bagi seluruh laki-laki Muslim yang mampu untuk menyeleksi pasukan yang bakal diberangkatkan. Gue pasti ikut dengan senang hati bila nggak ada uzur tentunya. Kapan lagi dapat kesempatan mulia kayak gitu? Daripada begini terus kan, bosan juga sih cuma bisa mengurut dada, nyumpahin Israel lewat tulisan atau cuma ikut berbagai aksi untuk bebaskan Palestina. Tapi hal itu kayaknya nggak bisa terwujud, kecuali jika kita dipimpin oleh seorang Khalifah gagah berani yang nggak akan membiarkan begitu saja umat Islam dizalimi dan daerah kaum Muslim dicaplok seenaknya. Penguasa saat ini sih cuma bisa teriak-teriak ngutuk begitu aja, nggak ada gunanya tau. Heh, apa mereka pikir hidup di jamannya Malin Kundang, main kutuk-kutukkan segala?
Jadinya, saat ini kita cuma bisa berjuang mendakwahkan Islam agar diterapkan di seluruh aspek kehidupan, mengajak sudara-saudara yang lain agar berjuang bersama, mengorbankan segenap upaya yang bisa dilakukan untuk menegakkan kembali kehidupan Islam. Sederhananya sih kayak gitu. Ada usul lain? Yang jelas, jangan mau kalah dengan pengorbanan sapi! Sudah berapa besar pengorbanan kita terhadap Islam? Jangan berikan waktu sisa kita untuk Islam, tapi suarakan Islam, perjuangkan kapan pun, dimana pun. Yakinlah, pengorbanan kita ini dibalas dengan hasil yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.